Visit us on Facebook>>>> Click Here!

Ad 468 X 60

Isi Blog iko

Jumat, 16 Agustus 2013

Widgets

Nasihat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tentang Berpikir atas Teks-teks Politik

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah menyatakan:
Banyak orang membaca tetapi tidak berpikir (tentang apa yang dibacanya). Banyak pula yang membaca dan berpikir, namun proses berpikirnya tidak lurus dan tidak dapat menjangkau pemikiran-pemikiran yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat (yang dibaca).”

Dengan kata lain, bacaan (teks) hanya sekedar ungkapan pemikiran, dan bukan pemikiran itu sendiri. Oleh karena itu, orang justru keliru jika menyangka bahwa masyarakat (termasuk Indonesia) dapat dibangkitkan hanya dengan diajari membaca dan menulis.

Bacaan tidak dapat memberikan apapun bagi proses berpikir. Termasuk juga tidak dapat digunakan untuk membangkitkan dorongan apa pun untuk berpikir. Sebab, proses berpikir diwujudkan melalui fakta terindera dan informasi awal yang berkaitan dengannya.

Bacaan bukanlah fakta terindera, bukan pula informasi awal. Bacaan (teks) hanyalah ekspresi pemikiran atau sekedar “wadah” yang digunakan untuk menampung pemikiran. Jadi, bukan pemikiran itu sendiri.

Jika seorang pembaca dapat memahami dengan baik maksud berbagai ungkapan tentang pemikiran dalam teks sehingga dia dapat menangkap pemikiran-pemikirannya, itu karena pemahamannya terhadap teks cukup baik, bukan karena semata-mata membaca. Jika pembaca tersebut tidak memahami teks dengan baik, tidak akan ada pemikiran apa pun yang  didapat, sekali pun dia telah membacanya berjam-jam.

Jadi, berpikir terhadap teks-teks (tulisan) itu penting dipahami, agar dapat memahami teks dengan baik. Termasuk teks (tulisan) tentang politik.

Teks politik itu ada dua jenis, yaitu teks yang terdapat dalam literatur-literatur politik dan teks yang terdapat dalam berita-berita politik. Dari membaca teks-teks politik itulah berpikir politis dimulai.

Jika teks politik itu terdapat dalam literatur ilmu politik (misalnya perbandingan sistem pemerintahan), maka proses berpikirnya hampir sama dengan proses memahami teks-teks tentang pemikiran. Contoh: untuk memahami teks ilmu politik tentang pemisahan kekuasaan, maka kita tidak bisa mencukupkan diri membuat gambaran tentang bahaya sentralisasi kekuasaan (misalnya) sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru. Akan tetapi, kita harus membayangkan sentralisasi kekuasaan di negara-negara Eropa, khususnya Prancis. Sebab, Montesquieu-lah yang merupakan tokoh pemikir tentang pemisah kekuasaan pemerintahan.

Lalu, jika kita membaca teks-teks berita politik, maka (menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani), hal ini adalah berpikir yang paling sulit. Sebab, ini adalah aktivitas berpikir atas segala peristiwa, di samping melibatkan semua jenis aktivitas berpikir, mulai dari berpikir terhadap teks-teks pemikiran, teks-teks hukum, dan sebagainya. Selain itu, juga karena tidak adanya kaidah atau patokan yang dapat digunakan di dalamnya. Selama seorang pemikir atau politisi jarang mengamati berbagai berita politik, teks ilmu politik, dan jarang beraktivitas politik, kurang cermat dalam memahami teks-teks, maka akan sulit baginya untuk berpikir politis. Jadi, hal ini memang sangat sulit.

Karena itu, orang yang ingin pintar berpikir politis, ia harus selalu mengikuti berbagai macam berita dan peristiwa politik dari berbagai media massa seperti koran, radio, televisi, atau internet; bukan membaca teks-teks pemikiran politik.

Memang, membaca teks-teks pemikiran politik akan membantu seseorang berpikir politis dalam memahami berita politik. Tetapi, ini bukan keharusan. Banyak memahami teks-teks pemikiran politik hanya akan menjadikan seseorang menguasai pemikiran politik. Orang seperti ini lebih layak menjadi dosen ilmu politik daripada seorang politisi.
sumber: DakwahMedia

0 urang nan komentar:

Isi Komentar Sanak disiko!!